Berikan masukan, kritik, saran, dukungan, berita, laporan warga + apa aja dech yg perlu di ketahui ame warga Depok ke email : walikotagaul@yahoo.com

Kamis, 29 Juli 2010

MEMILIH DENGAN CERDAS




Dimuat di Harian Monitor Depok, 28 Juli 2010


Oleh: Ikhsan Darmawan*)

“Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud..ya sudahlah…Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah…”

Kalimat di atas adalah penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan oleh Bondan Prakoso feat. Fade to Black yang berjudul “Ya Sudahlah…” yang sedang naik daun belakangan ini. Frasa “Ya Sudahlah” yang identik dengan jiwa nrimo barangkali bagi sebagian orang adalah falsafah sekaligus pandangan hidup yang telah lama melekat dan dijalankan sehari-hari karena segala sesuatu yang terjadi dipandang sebagai “cukup”. Permasalahan-permasalahan yang terus menerus membuntuti, seperti misalnya kenaikan harga barang, kemacetan di sana-sini, boleh jadi diterima sebagai sesuatu yang given.

Padahal, jika dipikirkan secara serius, pada hakikatnya, kekuasaan itu terletak pada masyarakat itu sendiri. Legitimasi untuk memerintah yang dipegang oleh pemimpin di suatu daerah hanyalah pemberian kepercayaan oleh mayoritas masyarakat di daerah tersebut, bukan penyerahan kekuasaan sepenuhnya tanpa boleh diganggu gugat oleh masyarakat itu sendiri. Artinya, menyitir Fiorina(1978), masyarakat bisa menggunakan kekuasaannya untuk: mengapresiasi pemerintahan yang sukses memerintah atau “menghukum” pemerintahan yang gagal memerintah untuk satu tujuan, yaitu mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih baik. Salah satu dari sekian banyak cara untuk mewujudkannya adalah dengan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum(termasuk Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada)).

Catatan
Erat bertautan dengan hal itu, hasil Pemilukada tahun 2010 di beberapa daerah menunjukkan beberapa poin penting yang perlu menjadi catatan. Pertama, Pemilukada di sejumlah daerah ternyata dimenangkan oleh calon yang memiliki kaitan dengan korupsi. Lebih parahnya lagi, calon-calon kepala daerah tersebut tetap dilantik sebagai kepala daerah. Daerah-daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Rembang, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bengkulu. Eksistensi dari fenomena kemenangan kandidat kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi jelas merupakan hal yang mengkhawatirkan. Alasannya adalah karena bisa dibilang masih terdapat masyarakat yang “gelap mata” dengan background calon yang berkompetisi dalam Pemilukada.

Catatan kedua yakni di beberapa daerah juga ditemukan peningkatan tingkat partisipasi politik masyarakat. Salah satu contohnya adalah di Kota Solo, Joko Widodo, kandidat walikota incumbent, meraih kemenangan sampai sekitar 93 persen. Yang perlu dikritisi kemudian dari seluruh daerah-daerah yang tingkat partisipasi politiknya tinggi tersebut adalah apakah tingkat partisipasi politik yang tinggi itu didasari pada partisipasi masyarakat yang berbasiskan pada kualitas program dan figur atau mungkin sebaliknya dilandasi oleh dasar memilih yang tidak rasional, seperti melihat figur tanpa mempertimbangkan latar belakang sang calon atau bahkan politik uang? Penelitian secara khusus mengenai ini perlu dilakukan agar pertanyaan yang penulis ajukan itu dapat menemukan jawaban yang valid.

Namun, walau bagaimanapun, yang wajib ditelaah adalah bahwa kuantitas pemilih dalam sebuah Pemilukada akan menjadi tidak begitu besar artinya apabila pemilih yang menggunakan hak pilihnya tersebut mayoritas adalah pemilih yang menggunakan hak pilihnya karena didasarkan oleh pertimbangan yang tidak rasional, seperti an sich melihat figur tanpa melihat latar belakang dan kapasitas calon tersebut.

Dalam bahasa lain, Pemilukada hendaknya jangan hanya menjadi pesta pora politik yang tak memiliki makna. Lebih dari itu, Pemilukada haruslah menjadi ruang bagi partisipasi politik masyarakat. Pemilukada haruslah paralel dengan apa yang disebut oleh Bingham Powell Jr. (2000: 3) dengan istilah “elections as instrument of democracy”. Artinya, Pemilu(termasuk Pemilukada) berperan dalam memberikan warga negara pengaruh terhadap pengambil kebijakan.

Cerdas
Benang merah dari kedua poin di atas dan apabila ditautkan dengan pergelaran politik 2010 (Pemilukada) Kota Depok adalah bahwa masyarakat Kota Depok selayaknya dan sepatutnya menggunakan hak pilih dengan cerdas. Artinya, sebelum mencoblos pasangan calon pilihan, minimal program-program kerja dan latar belakang dari para kandidat diperiksa dan dipelajari terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain adalah agar: (1) Pemilukada Kota Depok benar-benar merupakan perwujudan dari partisipasi politik masyarakat Kota Depok dan bukan sekedar euforia politik; (2) Masyarakat Kota Depok memperoleh pemimpin Kota Depok yang dapat menangkap, menterjemahkan sekaligus mengimplementasikan aspirasi masyarakat Kota Depok. Oleh sebab itu, berperannya seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) di Kota Depok secara maksimal menemukan relevansinya untuk mewujudkan hal ini.

Pada akhirnya, seluruh warga Kota Depok sudah selayaknya memilih calon Walikota yang menjiwai refrain dari lagu Bondan Prakoso feat Fade to Black yang berbunyi “Apapun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu”. Tujuannya tidak lain adalah agar Walikota yang nantinya terpilih adalah Walikota yang “selalu ada untuk warga Kota Depok”.

*) Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Tidak ada komentar: