Berikan masukan, kritik, saran, dukungan, berita, laporan warga + apa aja dech yg perlu di ketahui ame warga Depok ke email : walikotagaul@yahoo.com

Rabu, 23 Juni 2010

Depok: apakah sudah menjadi kota yang melayani?




Tugas utama Pemerintah Daerah adalah menyediakan pelayanan dasar (basic services) dan mengembangkan sektor unggulan (core competences), tujuannya adalah untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakat melalui peningkatan efisiensi serta efektivitas pelayanan, pemberdayaan potensi dan keanekaragaman daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan sebagainya. Atas dasar itulah, maka ditetapkan Visi Kota Depok Tahun 2006-2011, yaitu ”Menuju Kota Depok yang melayani dan mensejahterakan”.

Mari kita lihat apakah Depok sudah menjadi kota yang melayani. Dalam pelaksanaannya, Visi di atas akan ditempuh melalui beberapa Misi, diantaranya misi pertama menyebutkan sbb: “Mewujudkan pelayanan yang ramah, cepat dan transparan”. Apakah pelayanan di Kota Depok sudah ramah, cepat dan transparan? Apakah upaya yang dilakukan pemerintah Kota dibawah kepemimpinan Walikota Nur Mahmudi Ismail sejak 26 Januari 2006 sudah membuahkan hasil? Hampir setiap hari saya membaca surat kabar lokal di Depok berita mengenai keluhan warga berkenaan dengan lambatnya layanan publik seperti pembuatan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran. Belum lagi keluhan mengenai lambat dan tidak transparannya pelayanan perijinan di BPPT, pelayanan di BPN, dll. Ketika saya melakukan reses di beberapa Kelurahan di Cimanggis dan Tapos pada akhir April lalu, rata-rata warga mengeluhkan hal yang sama: pelayanan publik yang lambat dan tidak transparan. Pun ketika saya diminta menjadi narasumber pada acara Talk Show interaktif “Selamat Pagi Depok” di Cemerlang Radio 107,2 FM, pada awal Mei lalu- selama 1 jam; pendengar radio mengadukan melalui telpon dan sms hal yang sama pula. Intinya: masyarakat Depok merasa bahwa pelayanan publik di Kota Depok belumlah dilakukan secara cepat dan transparan. Hal ini mereka rasakan sendiri saat mereka mengurus administrasi kependudukan seperti KTP, KK, dan Akte Kelahiran di Kelurahan, Kecamatan ataupun di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; juga ketika mengurus perijinan di BPPT, dan mengurus sertifikat tanah di BPN.

Fakta ini sangat menyedihkan. Disaat DKI Jakarta sudah mengimplementasikan KTP elektronik, Depok – yang dikatakan sebagai kota penyangga Ibu Kota Negara - masih berkutat dengan sistem database yang belum selesai-selesai diimplementasikan. Padahal database ini sangat penting demi mewujudkan data kependudukan yang akurat dan berguna sebagai sumber data dan acuan bagi kegiatan-kegiatan pemerintah seperti Pemilukada, pemberian santunan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Kami di Komisi A melihat persoalan database merupakan persoalan penting yang harus mendapat perhatian serius dinas terkait untuk diselesaikan. Katidakakuratan data yang dimiliki pemerintah akan sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan pembangunan. Sampai saat ini berdasarkan data yang diperoleh Komisi A, jumlah data yang dimiliki oleh Disdukcapil tidak sama dengan data yang dimiliki oleh kelurahan - kelurahan. Ketidaksinkronan ini terjadi karena belum terbangunnya system database yang valid dan memadai. Hal ini dipertegas lagi setelah Komisi mengadakan rapat dengan KPUD yang menyatakan bahwa data penduduk yang mereka terima dari Disdukcapil tidak akurat dan terdapat 30,000 lebih data ganda (Monde 3 Juni 2010). Hal ini sangat berpengaruh terhadap jumlah DPT (Data Pemilih Tetap) untuk kepentingan Pemilukada yang akan digelar sebentar lagi.

Selain masalah database, permasalahan lain yang terlihat diantaranya adalah ketidaksiapan infrastruktur jaringan, kurangnya jumlah dan rendahnya kualitas SDM pengelola pelayanan, ketidakjelasan prosedur dan waktu pelayanan, serta masih banyaknya pungutan-pungutan liar yang terjadi di lapangan pada saat masyarakat melakukan pengurusan administrasi kependudukan. Bagaimana mau cepat dan transparan bila mengurus KTP saja memakan waktu berminggu-minggu dan dikenakan biaya yang tidak jelas.

Saya juga sangat prihatin ketika menginjakkan kaki dibeberapa kantor kelurahan, misalnya di Kantor Kelurahan Jatijajar Kecamatan Tapos belum lama ini. Mengapa prihatin? Di Kantor Kelurahan Jatijajar tsb, langit-langitnya sudah mau rubuh, bocor disana-sini, sehingga menurut pengakuan para pegawai kelurahan, bila hujan turun mereka tidak bisa bekerja karena air pasti masuk kedalam kantor sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk tetap bisa melanjutkan tugas. Padahal Kantor Kelurahan menjalankan fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Bagaimana bisa melayani masyarakat apabila sarana dan prasarana nya saja tidak memadai. Belum lagi masalah pemekaran kecamatan yang telah dilakukan awal tahun ini tanpa Pemerintah Kota terlebih dahulu menyiapkan sarana seperti Kantor Kecamatan. Seperti mengirim tentara pergi perang tanpa dibekali senjata.

Sungguh ironis bila Pemerintah Kota mempunyai beberapa program unggulan yang menghamburkan APBD seperti misalnya Santunan Kematian dan UPS (Unit Pengolahan Sampah) apabila fungsi pelayanan publiknya saja belum dibenahi. Bagaimana visi “mensejahterakan” bisa tercapai bila visi “melayani” saja masih amburadul?

Penulis : Jeanne Novelline Tedja, Anggota DPRD Kota Depok Fraksi Partai Demokrat

Tidak ada komentar: