Berikan masukan, kritik, saran, dukungan, berita, laporan warga + apa aja dech yg perlu di ketahui ame warga Depok ke email : walikotagaul@yahoo.com

Kamis, 29 Juli 2010

MEMILIH DENGAN CERDAS




Dimuat di Harian Monitor Depok, 28 Juli 2010


Oleh: Ikhsan Darmawan*)

“Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud..ya sudahlah…Saat kau berlari mengejar anganmu dan tak pernah sampai, ya sudahlah…”

Kalimat di atas adalah penggalan lirik dari lagu yang dinyanyikan oleh Bondan Prakoso feat. Fade to Black yang berjudul “Ya Sudahlah…” yang sedang naik daun belakangan ini. Frasa “Ya Sudahlah” yang identik dengan jiwa nrimo barangkali bagi sebagian orang adalah falsafah sekaligus pandangan hidup yang telah lama melekat dan dijalankan sehari-hari karena segala sesuatu yang terjadi dipandang sebagai “cukup”. Permasalahan-permasalahan yang terus menerus membuntuti, seperti misalnya kenaikan harga barang, kemacetan di sana-sini, boleh jadi diterima sebagai sesuatu yang given.

Padahal, jika dipikirkan secara serius, pada hakikatnya, kekuasaan itu terletak pada masyarakat itu sendiri. Legitimasi untuk memerintah yang dipegang oleh pemimpin di suatu daerah hanyalah pemberian kepercayaan oleh mayoritas masyarakat di daerah tersebut, bukan penyerahan kekuasaan sepenuhnya tanpa boleh diganggu gugat oleh masyarakat itu sendiri. Artinya, menyitir Fiorina(1978), masyarakat bisa menggunakan kekuasaannya untuk: mengapresiasi pemerintahan yang sukses memerintah atau “menghukum” pemerintahan yang gagal memerintah untuk satu tujuan, yaitu mewujudkan kondisi masyarakat yang lebih baik. Salah satu dari sekian banyak cara untuk mewujudkannya adalah dengan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum(termasuk Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada)).

Catatan
Erat bertautan dengan hal itu, hasil Pemilukada tahun 2010 di beberapa daerah menunjukkan beberapa poin penting yang perlu menjadi catatan. Pertama, Pemilukada di sejumlah daerah ternyata dimenangkan oleh calon yang memiliki kaitan dengan korupsi. Lebih parahnya lagi, calon-calon kepala daerah tersebut tetap dilantik sebagai kepala daerah. Daerah-daerah yang dimaksud adalah Kabupaten Rembang, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Bengkulu. Eksistensi dari fenomena kemenangan kandidat kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi jelas merupakan hal yang mengkhawatirkan. Alasannya adalah karena bisa dibilang masih terdapat masyarakat yang “gelap mata” dengan background calon yang berkompetisi dalam Pemilukada.

Catatan kedua yakni di beberapa daerah juga ditemukan peningkatan tingkat partisipasi politik masyarakat. Salah satu contohnya adalah di Kota Solo, Joko Widodo, kandidat walikota incumbent, meraih kemenangan sampai sekitar 93 persen. Yang perlu dikritisi kemudian dari seluruh daerah-daerah yang tingkat partisipasi politiknya tinggi tersebut adalah apakah tingkat partisipasi politik yang tinggi itu didasari pada partisipasi masyarakat yang berbasiskan pada kualitas program dan figur atau mungkin sebaliknya dilandasi oleh dasar memilih yang tidak rasional, seperti melihat figur tanpa mempertimbangkan latar belakang sang calon atau bahkan politik uang? Penelitian secara khusus mengenai ini perlu dilakukan agar pertanyaan yang penulis ajukan itu dapat menemukan jawaban yang valid.

Namun, walau bagaimanapun, yang wajib ditelaah adalah bahwa kuantitas pemilih dalam sebuah Pemilukada akan menjadi tidak begitu besar artinya apabila pemilih yang menggunakan hak pilihnya tersebut mayoritas adalah pemilih yang menggunakan hak pilihnya karena didasarkan oleh pertimbangan yang tidak rasional, seperti an sich melihat figur tanpa melihat latar belakang dan kapasitas calon tersebut.

Dalam bahasa lain, Pemilukada hendaknya jangan hanya menjadi pesta pora politik yang tak memiliki makna. Lebih dari itu, Pemilukada haruslah menjadi ruang bagi partisipasi politik masyarakat. Pemilukada haruslah paralel dengan apa yang disebut oleh Bingham Powell Jr. (2000: 3) dengan istilah “elections as instrument of democracy”. Artinya, Pemilu(termasuk Pemilukada) berperan dalam memberikan warga negara pengaruh terhadap pengambil kebijakan.

Cerdas
Benang merah dari kedua poin di atas dan apabila ditautkan dengan pergelaran politik 2010 (Pemilukada) Kota Depok adalah bahwa masyarakat Kota Depok selayaknya dan sepatutnya menggunakan hak pilih dengan cerdas. Artinya, sebelum mencoblos pasangan calon pilihan, minimal program-program kerja dan latar belakang dari para kandidat diperiksa dan dipelajari terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain adalah agar: (1) Pemilukada Kota Depok benar-benar merupakan perwujudan dari partisipasi politik masyarakat Kota Depok dan bukan sekedar euforia politik; (2) Masyarakat Kota Depok memperoleh pemimpin Kota Depok yang dapat menangkap, menterjemahkan sekaligus mengimplementasikan aspirasi masyarakat Kota Depok. Oleh sebab itu, berperannya seluruh stakeholders (pemangku kepentingan) di Kota Depok secara maksimal menemukan relevansinya untuk mewujudkan hal ini.

Pada akhirnya, seluruh warga Kota Depok sudah selayaknya memilih calon Walikota yang menjiwai refrain dari lagu Bondan Prakoso feat Fade to Black yang berbunyi “Apapun yang terjadi, ku kan selalu ada untukmu”. Tujuannya tidak lain adalah agar Walikota yang nantinya terpilih adalah Walikota yang “selalu ada untuk warga Kota Depok”.

*) Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP UI

Minggu, 18 Juli 2010

KANDIDASI, KLAIM, DAN KEPUTUSAN POLITIK



Oleh: Ikhsan Darmawan*)

Dimuat di Harian Monitor Depok, 6 Juli 2010

Dalam hitungan beberapa bulan ke depan, Kota Depok akan menggelar Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) untuk memilih pemimpin kota ini untuk periode 2011-2016. Jika tidak terjadi perubahan, maka pada tanggal 16 Oktober 2010 akan menjadi hari-H pemungutan suara.
Hal yang menjadi bahan pembicaraan sejumlah pihak, seperti politisi dan akademisi, di Kota Depok adalah menonjolnya persoalan kandidasi (pencalonan) untuk posisi walikota dan atau wakil walikota yang banyak berbuntut pada ketidakpuasan baik di kalangan internal pengurus partai politik (parpol) maupun di kalangan grassroot (akar rumput). Sekedar menunjukkan contoh, di tubuh Partai Golkar timbul kekecewaan dari Naming Bothin dan pendukungnya dikarenakan DPP Partai Golkar memutuskan akan mendukung Badrul Kamal sebagai calon walikota. Tidak terlampau jauh berbeda, di Partai Demokrat juga terdapat perbedaan pandangan dari bakal calon Agung Witjaksono mengenai perbedaan antara rekomendasi dan keputusan. Dukungan yang diberikan kepada pasangan Badrul Kamal-Supriyanto dalam kacamata Agung Witjaksono tidak lebih hanyalah rekomendasi dan belum berwujud keputusan (akhir) Partai Demokrat. Begitu juga, gejala riak-riak politik tidak terkecuali juga menghinggapi PDI-Perjuangan. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa hal ini bisa terjadi dan apa saja konsekuensinya?

Klaim dan Keputusan Politik
Klaim (pengakuan) politik adalah berbeda dengan keputusan politik. Klaim politik adalah pengakuan sepihak dari satu atau lebih bakal calon bahwa dia atau mereka adalah bakal calon walikota atau wakil walikota. Klaim politik dapat dicirikan: pertama, tidak memerlukan legitimasi dari parpol dan dapat pula dilakukan oleh calon independen. Kedua, klaim politik bisa berjumlah lebih dari satu.
Di banyak jalan di Kota Depok belakangan ini kita lumayan sering melihat banyak bakal calon Walikota Depok maupun calon Wakil Walikota Depok memasang baliho klaim politik sebagai bakal calon. Klaim politik sebetulnya dapat dinilai sebagai salah satu hal yang sah-sah saja apabila dilakukan oleh banyak orang sepanjang klaim politik itu hanyalah untuk meramaikan ‘pesta demokrasi lokal’ Kota Depok.
Sedangkan, yang berikutnya, yakni keputusan politik adalah dukungan resmi parpol terhadap salah satu pasangan calon walikota dan wakil walikota. Bedanya dengan klaim politik adalah pada sisi legitimasi dan jumlah. Keputusan politik pada umumnya dan seharusnya berjumlah satu. Jika terdapat keputusan politik yang lebih dari satu, boleh jadi hal itu disebabkan oleh adanya perpecahan di dalam parpol.
Yang terjadi di beberapa parpol Kota Depok dalam kaitannya dengan kandidasi walikota dan wakil walikota bermuara pada maraknya klaim politik di parpol-parpol tersebut. Hal itu belum termasuk klaim politik yang juga dilakukan oleh kandidat-kandidat yang ‘berminat sendiri’ dan bahkan tidak memiliki afiliasi politik sama sekali dengan parpol manapun.
Ramainya klaim politik tadi disebabkan oleh sejumlah hal. Pertama, masih relatif panjangnya waktu untuk sampai ke tahap pendaftaran calon oleh parpol ke KPUD untuk calon yang diusung oleh parpol. Sedangkan, untuk calon independen, akhir Juni ini malah telah masuk pada tahap verifikasi.
Kedua, masih cukup cairnya konstelasi politik Kota Depok. Meskipun beberapa parpol telah mengeluarkan keputusan dan atau rekomendasi politik mendukung calon tertentu, parpol-parpol masih belum selesai menghitung kemungkinan-kemungkinan siapa bakal calon yang akan mereka usung dalam Pemilukada nanti. Indikasinya adalah dalam beberapa minggu yang lalu, pergantian wacana siapa bakal calon yang akan didukung oleh salah satu parpol, misalnya, sangat sering terjadi.
Ketiga, begitu kentalnya motif persaingan kepentingan. Dapat dimafhumi bahwa baik bakal calon maupun parpol memiliki kepentingan masing-masing yang tidak menutup kemungkinan saling berbenturan.

Konsekuensi
Berbicara konsekuensi, dapat dibagi menjadi konsekuensi untuk parpol dan untuk masyarakat Kota Depok. Bagi parpol, jelas kandidasi ini merupakan hal yang akan kontraproduktif apabila tidak ditangani segera. Friksi yang terjadi jangan sampai menjalar berubah menjadi salah satu potensi konflik internal parpol itu sendiri. Di Partai Golkar, contohnya, pasca keputusan Partai Golkar yang tidak memutuskan mendukung dirinya, Naming Bothin mewacanakan akan keluar dari Partai Golkar.
Konsekuensi kedua, untuk parpol adalah tidak solidnya dukungan internal parpol terhadap pasangan calon yang nantinya akan didukung oleh parpol tersebut dalam Pemilukada. Hal yang jamak terjadi adalah beralihnya dukungan di tingkat grassroot (akar rumput) parpol. Siapa kandidat definitif yang di-endorse oleh parpol ‘digembosi’ oleh sebagian pendukungnya sendiri karena dianggap calon itu tidak sesuai dengan pilihan mereka.
Terakhir, bagi masyarakat Kota Depok, berubah-ubahnya isu mengenai siapa yang didukung oleh parpol-parpol jelas membuat masyarakat Kota Depok bingung. Pasalnya, kesan yang dapat diambil adalah bahwa selama ini tidak terdapat perbedaan antara klaim politik dan keputusan politik tentang calon walikota dan wakil walikota.

*) Penulis adalah Staf Pengajar Ilmu Politik FISIP UI

Rabu, 14 Juli 2010

Pengembangan Klaster Industri Konveksi Kota Depok




Oleh: Dr. Ir. Sugeng Santoso*, dkk.

Kota Depok merupakan salah satu wilayah paling strategis di Propinsi Jawa Barat. Letak dan posisinya sebagai penyangga ibu kota dan pengaruhnya yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah di sekitarnya merupakan peluang sekaligus tantangan agar Depok mampu menyelaraskan peluang ekonomi yang dimilikinya dengan potensi dan arah tata pemerintahan yang telah tersusun. Selain itu, pada tahun 2008 separuh lebih penduduk Kota Depok termasuk kelompok usia produktif. Oleh karenanya, tantangan ekonomis dalam jangka pendek adalah menyediakan lapangan kerja dan memperluas kesempatan kerja melalui pengembangan ekonomi lokal yang tepat.

Pada tahun 2008, struktur PDRB Kota Depok didominasi sektor sekunder dan sektor tersier yang ditandai besarnya sektor industri, perdagangan dan jasa. Hal ini mendukung fakta bahwa basis perekonomian Kota Depok dalam jangka panjang adalah sektor ekonomi perkotaan. Kontribusi sektoral paling rendah adalah sektor primer terutama pertanian yang diproyeksikan akan terus mengalami penurunan.

Berdasarkan hal tersebut, perlu terus dikembangkan sektor proiritas lain yang berpotensi menjadi unggulan dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Kota secara keseluruhan. Tingginya kontribusi sektor tersier terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Depok perlu disikapi dengan perencanaan yang dapat membangkitkan sektor lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya pula perlu terus dibuat mekanisme yang dapat menjadi pedoman dalam bentuk kajian klaster Industri.

Dalam kerangka ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan instansi terkait di Pemkot Depok sedang menyusun kajian yang diharapkan dapat memberikan gambaran jelas mengenai fokus ekonomi masyarakat sektor tersier mana yang layak dikembangkan di Kota Depok yang dapat berdampak ganda terhadap pengembangan sektor-sektor lain, sekaligus memberikan tatanan yang jelas dalam strategi pengembangan sektor–sektor industri.

Klaster Industri Konveksi

Industri Kecil dan Menengah Konveksi Kota Depok termasuk kelompok yang potensial dikembangkan sebagai klaster industri pada Tahun 2010. Sentra IKM konveksi Depok terletak di Bulak Timur dan Pondok Terong, Kecamatan Cipayung.

Dalam rangka pengembangan Klaster Industri Konveksi Cipayung ini, telah dilakukan tahapan pemetaan pelaku dan analisis lingkungan bisnis (tahap awal) sebagai dijelaskan berikut:

Para Pelaku

1. Industri Pemasok adalah Industri yang memasok dengan produk khusus; pemasok yang khusus (spesialis) merupakan pendukung kemajuan klaster. Industri pemasok terdiri dari bahan baku utama, bahan tambahan, dan aksesori. Hasil identifikasi pemasok sbb:

* Pemasok asal Kreo yg sekarang berdomisili di Pondok Terong & Bulak Timur
* Pemasok Depok, Cipulir dan Tanah Abang
* Pabrik Bahan Baku ‘62’ (Jl. Raya Cibinong-Cileungsi

2. Industri Inti adalah Industri yang dijadikan titik masuk kajian, dapat merupakan sentra industri. Hasil identifikasi industri inti sebagai berikut:

* Kelompok IKM konveksi Bulak Timur: memproduksi lagging, celana aladin, celana training dan lain-lain
* Kelompok IKM konveksi PondokTerong: memproduksi pakaian dalam wanita, pakaian anak-anak

3. Industri Pengguna adalah distributor atau pemakai langsung, pembeli yang sangat ‘penuntut’ merupakan pemicu kemajuan klaster. Pembeli dapat berupa distributor, pengecer, pemakai langsung, yang terdiri dari para penampung, pembeli langsung, outlet.

4. Industri Pendukung, meliputi industri jasa dan barang, termasuk layanan pembiayaan (Bank, Venture Capital), Layanan Pengembangan Bisnis, Pusat Desain; juga termasuk dalam industri pendukung yaitu jasa angkutan, bisnis distribusi, Jalan raya, Telekomunikasi, listrik, Permesinan, Alat Bantu, Kemasan. Hasil identifikasi industri pendukung sebagai berikut:

* ‘Koperasi Pusaka Pena’, ‘Kelompok Usaha Bersama Jayamas’
* Bank Mandiri Depok, Mega Syariah Cibubur, BNI
* UKM Center

5. Industri Terkait adalah industri yang menggunakan infrastruktur yang sama, industri yang menggunakan sumberdaya dari sumber yang sama (mis. kelompok tenaga ahli). Termasuk dalam industri terkait antara lain kompetitor, komplementer, substitusi. Hasil identifikasi industri terkait adalah sentra Industri Kreo.

6. Institusi Pendukung adalah lembaga pemerintah yang berupa penentu kebijakan, asosiasi profesi yang bekerja untuk kepentingan anggota, Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat yang bekerja pada bidang khusus yang mendukung. Hasil identifikasi institusi/lembaga pendukung sebagai berikut:

* Pemkot Depok: Bappeda, Dinas Pasar, Koperasi dan UMKM, Dinas Indag, Dinas Pemuda, OR dan Pariwisata, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial
* Perguruan Tinggi: UI, IPB
* Kementerian/LPNK: Deperin, BPPT
* PNPM Mandiri
* Fasilitator
* dan lain-lain

Langkah Pengembangan
Tahapan- tahapan pengembangan klaster berikutnya adalah:

1. Melanjutkan identifikasi dan pengumpulan data (data profil klaster) mengenai kondisi klaster industri hingga saat kini, keterkaitan dan perkembangannya. Menghimpun data dan informasi untuk memotret situasi/kondisi klaster industri terkini
2. Analisis Lingkungan Bisnis, adalah menganalisis situasi pada kondisi saat kini, peluang/prospek dan tantangan pengembangannya. Analisis yang digunakan analisis Rantai Nilai (Proses Bisnis) dan analisis lingkungan bisnis.
3. Penyusunan (Pohon masalah), pohon tujuan, penentuan prioritas tujuan dan perumusan visi klater dengan mempertimbangkan isu intervensi yang bisa dilakukan berdasarkan sumberdaya dan kebijakan-kebijakan pemerintah Kota Depok. Berdasarkan penentuan prioritas tujuan dilakukan penyusunan strategi untuk melaksanakannya melalui rencana aksi bersama yang diharapkan dapat:
* merumuskan strategi / tahapan pelaksanaan klaster industri konveksi yang berdaya saing di Kota Depok
* membentuk kelompok kerja untuk memecahkan berbagai masalah serta memanfaatkan peluang yang telah diidentifikasi dan mengawal pelaksanaan rencana aksi yang telah disepakati bersama
* melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan secara berkelanjutan dan terfokus pada program aksi jangka pendek dan jangka panjang dalam rangka meningkatkan daya saing

-------------------------------------------------

*) Kepala Bidang Daya Saing Industri, Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT.
Artikel adalah ringkasan laporan kajian yang ditulis berdasarkan hasil diskusi partisipatori dengan pelaku.
Untuk hasil kajian lebih lengkap, silakan hubungi
Email: sugeng@webmail.bppt.go.id
Telp. (021) 316-9366, Hp. 0817 381545


Sumber : http://margonda.com/Jendela/pengembangan-klaster-industri-konveksi-kota-depok.html

Sabtu, 10 Juli 2010

Bermodalkan Open Source mentransformasikan Depok menjadi kota bergaya Silicon Valley




Oleh : I Made Wiryana - mwiryana@rvs.uni-bielefeld
.de *)

Abstrak
Kota hi-tek seperti Silicon Valley kini telah tumbuh di berbagai belahan dunia. Bahkan di Asia seperti Singapore dan Indiapun telah ada. Kota-kota tersebut memiliki suatu kesamaan ciri yaitu, kerja keras, semangat enterpreneur yang tinggi, jalinan informasi yang kuat serta sistem pendanaan yang mendorong pertumbuhan perusahaan baru. Perkembangan Depok menunjukkan kemungkinan berkembangnya ke arah tersebut. Open Source merupakan suatu framework yang dapat digunakan sebagai titik tolak untuk memulai usaha dalam bidang Teknologi Informasi (TI). Mampu memberikan titik awal usaha dengan investasi awal yang rendah, dan kemungkinan pemasaran internasional.

1 Pendahuluan

Judul di atas terkesan terlalu optimistis dan bahkan bombastis. Apalagi dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang ini. Tulisan ini bukan berkeinginan mengumbar utopia tetapi mencoba menawarkan suatu arah perkembangan yang mungkin dicapai. Memang ini benar kalau kita hanya berhenti pada tahapan berangan-angan, tetapi bila dibarengi dengan kerja keras dan kesungguhan tampaknya hal itu dapat tercapai, paling tidak perkembangan ke arah sana dapat mulai dikondisikan. Apa salahnya berangan-angan untuk hal yang baik. Toh, Jery Chang pun sama sekali tak berfikiran akan menjadi sangat sukses dengan YAHOO-nya ketika dia secara iseng-iseng membuat koleksi link pada homepage pribadinya (TIMES, 9 November 1998).

Kini terdapat bebeberapa kota yang memiliki kecenderungan berkembang seperti Silicon Valley (Newsweek, 1998). Silicon Valley sebagai suatu kota hi-tek telah sangat terkenal dan menjadi salah satu sumber penggerak ekonomi Amerika atau bahkan dunia. Di Silicon Valley inilah bermarkas Hewlett-Packard, Oracle, Apple, Netscape, Stanford University, dan ada sekitar 5000 perusahaan baru yang pada saat ini baru mulai beroperasi. Silicon Valley sendiri bukanlah merupakan suatu daerah dengan batasan yang jelas, daerah ini dimulai dari lokasi Universitas Stanford hingga San Jose. Di batas barat adalah bukit Los Altos. Daerah ini merupakan tempat kelahiran kalkulator kantong, video games, personal computer, telfon cordless, mikroposesor dan lainnya. Dengan prosentas pegawai berpendidikan tinggi. Ratio pegawai yang berpendidika PhD sangatlah tinggi.

Semangat kerja keras para pelaku bisnis di Silicon Valley tampak dari tampak dari slogan yang sering diungkapkan mereka yaitu :

Our credo is work hard, play hard, and dont worry about the difference between work and play. There isn't any (Rogers dan Larsen, 1984).

Membangun kota seperti Silicon Valley ini bukanlah sekedar baik dari segi ekonomi, tetapi juga memberikan jaminan rasa aman bagi kelangsungan bangsa di masa depan. Sudah barang tentu untuk menjadikan kota dengan kecenderungan seperti Silicon Valley ini bukanlah mudah. Beberapa kota yang memiliki kecenderungan seperti Silicon Valley antara lain :

* Austin - Texas. Dengan jumlah perusahaan sekitar 1750 dan perusahaan utama adalah Dell Computer, Advanced Micro Devices (AMD), kota ini telah berkembang menjadi salah satu pusat teknologi tinggi di USA. Austin memiliki University of Texas Computation Center sebagai pusat penelitian yang bergengsi. Dengan pengaruh alamnya yang ramah, maka gabungan budaya "fun" dan teknologi menjadikan Austin memimpin di perangkat lunak entertainment. Dell Computer sendiri berkembang dari sebuah perusahaan kecil yang dimodali seorang mahasiswa (Dell) yang menyediakan jasa merakit peralatan komputer dan mengantar langsung ke depan pintu pemesan. Di sini tampak bahwa pengaruh cara hidup dan budaya lokal dapat memberikan warna pada bisnis yang digeluti.
* Bangalore - India. Jumlah perusahaan di kota dagang tua India ini sekitar 250 buah, dengan perusahaan utama adalah Texas Instrument dan Infosys. Lembaga riset lokal yang terkenal adalah Indian Institute of Research. Di kota ini budaya cyber bisa berjalan beriringan dengan budaya India tradisional. Gaya hidup tradisional Bangalore tetap bertahan tak berubah, walaupun makin maraknya CyberCafe di kota ini. Keberadaan perusahaan perangkat lunak ini memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya di samping itu, mereka juga membantu sekolah dan anak muda sekitarnya dengan menyediakan sarana pelatihan. Keterikatan kebutuhan perusahaan dengan lingkungan sebagai penyedia sumber daya manusia yang handal menjadikan Bangalore tumbuh sebagai penyedia jasa Teknologi Informasi yang patut diperhitungkan. Hal ini sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik perusahaan maupun masyarakat Bangalore.
* Boston - Massachussets. Jumlah perusahaan di darerah ini sekitar 3600 buah. Perusahaan anchor antara lain Lotus (IBM), Lycos. Di kota inilah berdiri Massachussets Institute of Technology.
* Cambridge - England. Jumlah perusahaan hi-tek sekitar 1159, dengan perusahaan anchor antara lain Acord, Cambridge Display Tech, Microsoft, Hewlett-Packard. Cambridge telah menjadi simbul ilmu murni selama 800 tahun. Tetapi akhirnya mreka memutuskan untuk turun menghadapi tantangan dunia nyata dengan berkotor-kotor tangan untuk terjun dalam pengembangan industri. Microsoftpun telah mendirikan Laboratoriumnya di sini.
* Helsinki - Finlandia. Di kota ini telah ada perusahaan sekitar 300-400, yang termasuk besar adalah Nokia. Di negara dengan ratio kepemilikan telfon genggam tertinggi ini, perusahaan menginvestasikan dananya ke universitas dalam pengembangan teknologi, misal dengan mendirikan "Science Park" Pembangunan "science park" bukan saja sekedar memenuhi pencapaian ilmu, tetapi juga penyediaan fasilitas untuk mengembangkan bisnis baru. Kementerian dagang telah menginvestasikan cukup dana untuk memberi dukungan bagi perusahaan yang memulai usahanya di bidang hi-tek. Sehingga universitas dan perusahaan bekerja sama menciptakan suatu inkubator bisnis.
* Salt Lake City - Utah. perusahaan di daerah ini berjumlah sekitar 2120, dengan perusahaan yang terkenal PowerQuest, dan Novell, Iomega, Evans and Sutherland dikenal sebagai perusahaan anchor. Lembaga pusat penelitian yang terkenal di kota ini adalah University of Utah. Banyaknya perusahaan besar, menjadikan para pegawainya sebagai sumber bakat untuk perusahaan yang akan mulai. Para "pelarian" inilah yang menjadi pendiri perusahaan-perusahaan baru. Sebab sangat sulit sekali bagi perusahaan kecil tetap berjalan tanpa bantuan perusahaan besar.
* Seattle - Washington. di daerah ini ada sekitar 2500 perusahaan hi-tek dan Microsoft adalah salah satunya. Washington University yang berdiri di daerah ini bisa dikatakan sebagai sumber bakat-bakat yang nantinya bekerja di perusahaan sekitar daerah ini. Di daerah ini, pada tengah malam, lazim terlihat para pekerja ke restaurant untuk mencari makan, karena sebagian besar dari mereka tengah bekerja hingga larut malam. Popularitas Microsoft telah membangkitakan gairah orang di sekitar sini untuk melakukan bisnis yang berkaitan dengan piranti lunak.
* Singapore. Tetangga kita ini memiliki sekitar 30 perusahaan multinasional dan banyak perusahaan lainnya, termasuk Hewlett-Packard, IBM, dan Creative Technology. Walaupun penuh dengan nuansa "ketatnya peraturan" Singapore mampu menarik perusahaan multinasional hi-tek untuk menanamkan modalnya di sana. Hal ini disebabkan tingginya kualitas tenaga kerja terdidik di sana. Memang banyak kalangan berpendapat bahwa "serba ketatnya peraturan" di Singapore dapat mengurangi lajunya perkembangan Singapore menjadi kota hi-tek. Tetapi efisiensi kerja dan mutu para pekerja Singapore tampaknya lebih mendorong perkembangan ke arah sana.
* Sophie-Antipolis - Prancis. Di salah satu kota Prancis ini ada sekitar 1100 perusahaan, dengan perusahaan anchor adalah Sita, Sema Group, Thomson, Microsonics, Bay Networks, VLSI Tech. Termasuk perusahaan yang terkenal dari lokasi ini adalah FocusImaging, dan NicOx.
* Tel Aviv - Israel. Di kota ini ada sekitar 1000 perusahaan, dengan perusahaan anchor adalah ECI, Formula Group dan Point Software Technologies. Pusat riset lokal yang terkenal adalah Army's Mamran Unit. Yang menarik dari kota Tel Aviv ini adalah kenyataan bahwa pelaku bisnisnya rata-rata memperoleh pendidikan ketika mereka melakukan wajib militer. Mereka telah menyerap "semangat Silicon Valley", budaya pelaku bisnis di sini tak ubahnya seperti di Amerirka. Bahkan bermain basket ball di depan kantor, dan juga kepemilikan perusahaan melalui saham.

Kenyataan di atas tentu menunjukkan bahwa semangat pengembangan industri ala Silicon Valley selalu terbuka. Memang dalam hal ini bukan berarti suatu bisnis yang mengandalkan pada modal (ini suatu image yang terbayang ketika mendengar Silicon Valley dengan hi-tech nya), tetapi yang lebih penting adalah semangat kewirausahaan yang berani mengembangkan suatu bisnis baru, yang mengandalakan kemampuan pengetahuan. Hi-tek dalam hal ini dicirikan dalam (Rogers dan Larsen, 1984):

* Pekerja yang berketrampilan dan berpengetahuan tinggi
* Kecepatan pertumbuhan yang tinggi
* Ratio pengeluaran yang tinggi untuk R&D.
* Pasar dunia untuk produknya

Dalam tulisan ini bisnis hi-tek tidak hanya dikitkan pada bisnis dengan teknologi tinggi yang memiliki modal besar. Tetapi lebih menggunakan definisi di atas. Sehingga terbuka juga kemungkinan pengembangan perusahaan seperti dalam bidang peralatan bantu pertanian, biogenetik dan lain-lain. Depok diambil hanyalah sebagai suatu kota contoh, ide ini dapat diterapkan di kota lain yang memiliki situasi yang sama misal : Bogor, Bandung, Yogya, Pakanbaru, Banda Aceh, Jayapura dan lain-lain.

2 Pola pendorong kehidupan Silicon Valley

Kota-kota di atas berkembang dengan didorong semangat entrepreneur jiwa muda yang berani mengambil resiko dalam mencoba peulang bisnis baru. Mereka tidak hanya membaca apa yang sedang trend atau apa yang terjadi pada saat ini. Tetapi berani memulai dan menciptakan trend dan berharap akan terjadi di masa mendatang. Sebagai contoh adalah perusahaan Affymetrix yang memulai penelitian di bidang chip biogenetic (Popular Science, 1998). Ada suatu kesamaan yang menyolok dari kota-kota tersebut yaitu yaitu adanya lembaga pendidikan atau riset yang kuat di kota tersebut. Silicon Valley sendiri bisa dikatakan dimulai dari Stanford University, yaitu dorongan sang Profesor Fred Terman kepada 2 alumni Universitas tersebut untuk membuka bisnis elektronik, yaitu William R Hewlett dan David Packard. Yang kemudian berkembang besar menjadi perusahaan besar HP.


Secara garis besar, kota-kota tersebut memiliki kesamaan ciri yaitu :

* Memiliki institusi penelitian.
Universitas besar saja tidaklah cukup, harus juga ditunjang lembaga penelitian baik yang berada di lingkungan universitas, ataupun di luar universitas. Tetapi ini juga harus didukung suasana berfikir kritis seluas-luasnya yang mendukung. Kebebasan berfikir kritis dan inovatif ini sangat membantu mengembangkan situasi yang mendukung tetapi harus dibarengi dengan kerja keras dan ketekunan.
* Paling tidak ada satu cerita sukses yang terjadi.
Cerita sukses ini akan membangkitkan jalur dan semangat lingkungan untuk mengikuti jejak. Ini terjadi di Seattle dengan Bill Gates, Helsinki dengan Linus Torvald. Cerita sukses ini akan merupakan "daya magnet" bagi anak muda lainnya untuk mengikuti cerita sukses ini. Peran media massa sangatlah diperlukan dalam hal ini. Media massa sangat berperan sekali dalam membentuk "public figure" yang langkahnya diikuti oleh lingkungan. Sebagai contoh majalah seperti WIRED memberikan peran besar dalam membentuk kultur hi-tek ini, begitu pula jaringan antar journalis WELL. Dengan makin tertariknya anak muda dalam bidang ini, maka akan makin besar pula kemungkinan tumbuhnya bakat-bakat cemerlang dari mereka.
* Bakat hi-tek
Orang-orang berbakat ini datang baik dari perusahaan, universitas atau bahkan dapat juga dari lembaga tentara seperti di Israel. Hanya tempat yang memiliki kumpulan bakat yang kaya yang dapat menjadi kota technology. Ini berarti kualitas sumber daya manusia menjadi modal penting sekali. Sekali jumlah ini telah mencapai jumlah yang memadai (critical mass) maka akan bergulirlah perkembangan ke arah tersebut.
* Ketersediaan modal
Memang sulit memperoleh modal dari pihak penyedia dana konvensional, hal ini dikarenakan resiko yang cukup tinggi dan sulit diprediksikan. Apalagi ketidak terbiasaan para bankir menghadapi anak muda dengan gaya seenaknya ini (t-shirt dan sepatu kets). Lebih-lebih seringkali perusahaan baru di bidang ini memiliki model bisnis yang lain dari pada yang lain (sebagai contoh Open Source Development Model). Walau begitu dapat pula ditiru contoh di Israel, dengan suatu perusahaan besar memberi modal perusahaan kecil untuk memulai usahanya.
* Infrastruktur
Jelas ini mendukung sekali, misal jaringan telekomunikasi, juga perbankan. Tetapi bukan berarti tanpa dukungan sarana telfon yang baik, maka perkembangan ke arah sana tidak dapat terjadi. Sebagai contoh Bangalore yang memiliki infrakstruktur telekomunikasi minim tapi mampu bergerak menuju ke arah kota hi-tek.
* Perilaku yang tepat
Rata-rata mereka yang terlibat dalam bisnis hi-tek ini memiliki prilaku kebebasan berfikir dalam mengembangkan ide-ide. Sehingga dengan berani mengambil resiko mengembangkan suatu usaha, atau produk yang masih belum banyak diambil orang. Dengan berani memprediksi masa depan dan menciptakan trend baru, maka mereka akan memiliki kesempatan untuk lebih berkembang dan menguasai pasar untuk produk mereka di masa yang akan datang. Ini dibarengi dengan kebiasaan bekerja yang tidak kenal lelah. Di kota-kota hi-tek ini sudah menjadi kebiasaan umum, para pekerja muda yang kreatif bekerja 20 jam sehari atau tidur di kantor. Terkadang ini dibarengi dengan kebiasaan dan suasana kantor yang mendorong terciptanya kebebasan berkreasi, misal tidak perlu memiliki jam kerja yang ketat, atau peraturan pakaian. Bahkan banyak yang menyediakan sarana "bermain" seperti lapangan basket, ataupun pin-ball di kantor mereka. Dan bahkan ada yang membawa binatang piaraan dan memperlakukan kantor seperti rumah (Tommorow, 1998). Hal ini menjadikan mereka betah melakukan pekerjaan di kantornya. Tanpa memperhitungkan jam kerja.

3 Mungkinkah Depok menjadi Depok Valley ?

Pertanyaan di atas selalu menggelitik pikiran apalagi dengan melihat situasi Depok yang telah berkembang dengan pesat. Memang sulit sekali untuk menyamai Silicon Valley yang begitu padat dengan industri "padat otak" dan "padat modal", tapi idea, semangat dan impiannya adalah sangat mungkin untuk diadoptir. Harapan ini makin berkembang dengan adanya kenyataan di Depok, antara lain :

* Telah adanya beberapa perguruan tinggi di sekitar Depok, misal Universitas Indonesia, Universitas Gunadarma, Universitas Pancasila, Institut Sains dan Teknologi. Keberadaan universitas ini sangat baik dalam membentuk sumber daya manusia yang memadai untuk menunjang kegiatan bisnis terutama bidang teknologi informasi. Sehingga suatu perusahaan dapat dibentuk dengan pendukung sumber daya manusia yang memiliki tingkat pendidikan cukup tinggi dan dari berbagai disiplin ilmu. Teknologi informasi sendiri membutuhkan suatu pendekatan yang relatif interdisiplin. Penguasaan bidang komputer dan teknologi saja tidak cukup. Harus dibarengi juga dengan penguasaan seperti psikologi dan sosiologi serta ilmu lainnya. (Wiryana, 1998).
* Akses ke pusat penelitian baik di Universitas maupun Serpong (Puspitek dan berbagai lembaga penelitian).
* Tersedianya infrastruktur yang memungkinkan "kehidupan ala hacker", misal tempat makan yang buka tengah malam. Mulai adanya Cyber Cafe yang menyediakan jasa akses Internet. Tempat seperti ini memungkinkan sebagai titik pertukaran informasi dan diskusi pembentukan idea. Di Silicon Valley sendiri tempat seperti restaurant dan bar merupakan tempat pertukaran informasi tersebut. Misal Peppermill di Highway 101 atau Cow Girl Bar di Sunnyvale Hilton Inn
* Era keterbukaan yang makin ada di Indonesia. Ini akan mendorong kepada kebiasaan berfikir "kritis, kreatif dan inovatif". Ini ditunjukkan dengan tumbuhnya forum diskusi antar mahasiswa, mungkin pada saat ini yang masih menggejala adalah forum diskusi kajian agama, sosial dan politik. Tapi tidak tertutup kemungkinan di masa datang, forum diskusi, klub komputer, kelompok hobby akan berkembang juga. Secara informal kelompok seperti ini telah tumbuh di lingkungan Depok, terutama tempat tinggal mahasiswa. Para mahasiswa tersebut telah mulai belajar dan mengembangkan dan membekali diri dengan pengetahuan tambahan. Sebagai contoh perkembangan bisnis perangkat lunak dan keras personal komputer pun dimulai dari pertemuan-pertemuan di Homebrew Computer Club, yang melahirkan inovator seperti Wozniak, Osborne, Bill Gates dan sebagainya.
* Akses ke pusat bisnis seperti Glodok dan Mangga dua yang relatif mudah dengan Jabotabek ataupun dengan kendaraan pribadi via jalan tol. Tidak dapat dipungkiri hal ini memberikan nilai tambah. Kemudahan akses ini memudahkan bila memerlukan materi sebagai bahan dasar prototipe produk yang dibuat.
* Akses ke pusat industri pengguna jasa teknologi informasi, misal daerah Cikarang, Bekasi, Raya Bogor, dapat dilakukan melalui jalan tol lingkar luar kota. Ini memudahkan untuk memperoleh konsumen atau pengguna jasa yang ditawarkan.
* Banyaknya tempat tinggal mahasiswa di sekitar Depok. Hal ini akan sangat praktis apabila mereka harus bekerja di seputar Depok dan harus pulang malam hari tidaklah menjadi masalah. Mendorong terbentuknya forum kerja sama antar mahasiswa di waktu senggangnya. Sehingga sejak sebelum mereka lulus mereka sudah bisa mulai berfikir kira-kira bisnis apa yang bisa dilakukan.
* Semangat kerja, ketekunan dan daya tahan tinggi yang ditunjukkan oleh para mahasiswa. Misal ketika melakukan demonstrasi pada tahun 1998 ini. Apabila semangat ini juga diaplikasikan ke dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu akan merupakan point yang mendukung.

4 Permasalahan yang harus diatasi

Mungkin ada beberapa hal yang menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut. Tetapi bukan berarti hal tersebut menjadikan keinginan ini menjadi mustahil. Beberapa kendala tersebut antara lain :

* Keterbatasan infrastruktur telekomunikasi misal telfon dan jaringan ISDN. Tetapi ini bukanlah merupakan halangan utama yang menjadikan kita harus mengubur angan-angan ini. Sebagai contoh Bangalore (India) memiliki infrastruktur yang lebih buruk dari Depok tapi bisa berkembang menjadi Silicon-Valleynya India. Mengapa Depok tidak ?
* Perusahaan belum "menoleh" untuk "outsourcing". Perusahaan masih belum tertarik memanfaatkan jasa di luar perusahaan karena berbagi pertimbangan. Walau tampak pertimbangan utamanya adalah belum relanya membagi-bagi kue keuntungan. Tetapi sebetulnya dengan cara melakukan "outsourcing" perusahaan dapat lebih menekan biaya produksi. Salah satu hal yang menyebabkan situasi ini adalah minimnya komunikasi yang terjadi antar dunia industri dan dunia akademis. Sehingga sebagian besar industri menganggap kegiatan di lingkungan akademis tida memiliki kaitan dengan industri secara langsung. Seringkali beberapa perusahaan lebih menyukai mengontrak konsultan asing, daripada memberi pekerjaan tersebut kepada akademisi. Sudah barang tentu dengan melakukan outsourcing via Universitas, universitas dapat membentuk unit-unit usaha yang berintikan mahasiswa untuk melaksanakan tugas. Ini sebetulnya dapat menjadi cikal-bakal yang baik.
* Karena masih rendahnya hubungan dengan industri ini menjadikan minat membuka usaha baru di bidang teknologi informasi masih kecil, sebagian besar lulusan merasa lebih terjamin menjadi pegawai pada perusahaan daripada memulai usaha sendiri. Bisa dikatakan masih sedikit mahasiswa dan dosen yang memiliki semangat "wirausaha".
* Adanya hambatan kerja sama yang timbul dikarenakan aroganisme antar Perguruan Tinggi. Seperti kita ketahui di daerah Depok ada beberapa Perguruan Tinggi Swasta, dan sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Aroganisme antar perguruan tinggi ini sebaiknya harus dihapuskan (Kompas,1998). Bukan rahasia umum lagi bahwa terkadang aroganisme Perguruan Tinggi di lingkungan Depok menghalangi terbentuknya kerjasama yang saling menguntungkan bagi perkembangan karier mahasiswa. Hal ini terkadang nampak kental, ketika suatu kerja sama hendak dilembagakan. Untungnya di tingkat mahasiswa ini hal ini belum tampak, walau terkadang ada juga beberapa mahasiswa yang mencoba menjaga nama almamater secara berlebihan. Pada saat seperti ini, kerjasama atau kolaborasi antar mahasiswa dan lembaga akan sangat menguntungkan apalagi bila kita menginginkan terbentuknya situasi seperti di Silicon Valley. Lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan bidang tertentu, akan dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan di bidang lainnya. Arogansi ini terkadang membatasi akses informasi para mahasiswa ke pada pusat penelitian atau perpustakaan di Universitas sekitar Depok.
* Dari segi pendanaan, masih sedikitnya perusahaan yang tertarik menanamkan modal ke usaha yang dilakukan oleh "new kid in the block". Permodalan dari pihak bank untuk jenis usaha ini masih sulit dilakukan. Hal ini bisa diatasi dengan keterlibatan Perguruan Tinggi untuk menyediakan dana awal yang nantinya secara diangsur akan dikembalikan oleh mahasiswa yang mendirikan usaha. Langkah seperti inilah yang banyak dilakukan oleh Universitas Stanford untuk mendorong alumninya memulai usaha. Mungkin model seperti permodalan ventura seperti di Silicon Valley dapat dicoba.

5 Penentuan langkah

Perkembangan kota seperti Silicon Valley ini pada dasarnya tidak lepas dari perkembangan penggunaan teknologi informasi di masyarakat. Seperti yang telah lama direkomendasikan (Gotlieb, 1983),dalam mengembangkan penerapan teknologi informasi ini maka sebaiknya dipertimbangkan:

* Pendidikan dan pelatihan lebih banyak dilakukan. Jelas ini harus kita perhatikan dua hal yang berbeda yaitu pendidikan dan pelatihan. Juga materi pelatihan yang kita pilih haruslah materi yang memberikan dasar ketrampilan yang baik. Bukan hanya penguasaan ketrampilan sesaat. Hal ini disebabkan life cycle dari suatu produk bidang TI adalah singkat sekali.
* Penelitian lebih banyak dibutuhkan dan dilakukan dengan pendekatan yang lebih beragam. Bukan terpaku pada satu jenis pendekatan saja. Dengan kemungkinan pendekatan yang lain maka terbuka kesempatan untuk membuat produk alternatif. Keberanian melakukan sesuatu dengan pendekatan alternatif atau "berfikir kritis" tanpa mengikuti trend (bahkan bila mungkin menciptakan trend) akan memberikan dampak yang baik pada perkembangan keseluruham.
* Lebih banyak perencanaan dengan pertimbangan pengguna/masyarakat. Dalam memperkenalkan atau menciptakan suatu produk harus juga melihat situasi masyarakat dan pengguna. Ini akan melibatkan mekanisme publikasi, dan penyebaran informasi secara baik.
* Harus mempertimbangkan teknologi terakhir, seperti microposesor terakhir, pengolahan data terdistribusi, dan juga pengguna perangkat komputer murah. Teknologi terakhir yang dipertimbangkan haruslah berdasarkan pertimbangan ilmiah, bukan sekedar jargon bisnis belaka. Suatu platform yang dipilih sebagai usaha haruslah memberikan kontinyuitas dalam mengikuti perkembangan teknologi terbaru.

Untuk menjelaskan langkah-langkah yang dapat kita lakukan maka dibagi menjadi beberapa kategori utama di bawah ini :

* Pembentukan perilaku yang tepat
Sebagaimana diketahui, lingkungan hi-tek seperti Silicon Valley membutuhkan suatu alam keterbukaan pikiran. Proses kreatif dan inovatif hanya dapat terjadi secara mudah dalam suatu lingkungan kebebasan berfikir (perkecualian adalah kondisi di Singapore, walaupun ini juga diakui menimbulkan keterbatasan). Pemahaman "kebebasan berfikir dan berpendapat" haruslah diperluas tidak dalam bahasa politik belaka, tetapi juga meliputi bahasan-bahasan teknologi ataupun pengembangan bentuk usaha. Pengembangan pardigma atau model baru dalam aplikasi teknologi harus juga ditumbuhkan di kalangan mahasiswa dan dosen. Untuk membentuk perilaku ini, rasa ketertarikan mahasiswa dan dosen untuk terlibat haruslah dikembangkan. Bila perlu universitas mendukung para pengajar, turun langsung ke industri padat otak ini. Jangan sampai kita tetap terjebak kedalam pemahaman bahwa "dosen mengobyek itu buruk". Pengalaman dosen dalam pekerjaan nyata akan memperkaya materi pelajaran.Semangat wira usaha sangat perlu ditumbuhkan di kalangan mahasiswa/alumni dan dosen. Institut Teknologi Bandung (ITB) telah memulai usaha ini dengan baik, dan tampaknya perlu diikuti oleh perguruan tinggi lainnya.
* Alam persaingan sehat dan kerja keras.
Para pekerja di Silicon Valley bisa dikatakan sangat senang bekerja keras dan bahkan ada yang melakukannya juga di akhir pekan. Persaingan dan intensitas tuntutan pekerjaan menuntuk hal itu. Tidak saja dibutuhkan pekerja yang pintar, tapi juga cepat dan tahan banting. Suasana kerja keras yang di atas rata-rata ini menyebabkan para pekerja menjadi agak sedikit "kuper" dalam bidang politik. Tapi sumbangan para pekerja di Silicon Valley terhadap perekonomian USA tak dapat diragukan lagi.
* Pengembangan jaringan informasi yang kuat
Arus pertukaran informasi di Silicon Valley begitu terjadi dengan cepat. Hal ini sangat penting untuk saling mengetahui situasi dunia usaha. Dengan kata lain jaringan informasi merupakan hal yang sangat penting. Jaringan informasi ini sangat perlu dibentuk misal :
o Pengembangan jaringan dalam abstraksi bawah dan atas antar perguruan tinggi. Kerja sama bukannya terbentuk di lapisan atas birokrat atau hanya terbatas sebagai nama proyek kerja sama, tetapi harus benar benar dirasakan hingga ke mahasiswa. Sehingga penggunaan sarana dan informasi dapat dilakukan. Misal pemanfaatan fasilitas perpustakaan salah satu Universitas tidaklah terbatas hanya pada mahasiswa universitas tersebut. Sudah barang tentu tetap dibutuhkan suatu mekanisme pengaturan administratif tetapi harus diminimalkan keruwetan birokratif yang selama ini ada. Jaringan ini harus hidup antar PTN-PTS yang ada. Kegiatan seperti Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) tampaknya mulai menunjukkan titik terang bahwa jaringan seperti ini dapat dibentuk.
o Membangun jaringan di industri maupun luar-negeri untuk memasarkan hasil produk. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk pusat informasi di luar negeri oleh para alumn. Ini telah dilakukan pada saat ini oleh Pakitan dan Indiadengan membentuk The Indus Enterpreneurs di San Fransisco. Dapat dimanfaatkan para staf Universitas atau alumni yang berada di luar negeri, dan juga dengan memanfaatkan teknologi Internet. Tidak tertutup kemungkinan seperti ini, apalagi dengan kondisi "harga" yang bersaing.
o Membangun jaringan kepada industri, baik sebagai pengguna jasa ataupun sebagai pihak yang memberikan informasi. Kerja sama dengan industri ini dapat ditingkatkan sehingga perusahaan dapat berfungsi sebagai " anchor company". Dalam kegiatan ini alumni bisa dilibatkan. Sebagai titik awal Universitas bisa dikatakan sebagai titik sambungan ke industri, mungkin sebagai langkah awal sebagai penyedia alamat kontak baik di dunia industri maupun bagi dunia industri
* Dukungan publikasi
Media massa tidak boleh dilupakan dalam membentuk semangat kerja, pembentukan figur, sarana pertukaran dan penyebaran informasi. Kesuksesan yang diberitakan akan menjadi "magnet" yang dapat menarik orang banyak untuk mengikutinya. Silicon Valley sendiri terkenal dengan media massa lokal seperti Homebrew Computer Club (yang akhirnya menjadi Dr Dobb Journal), San Fransisco Chronicle, San Jose Mercure News, Palo Alto Weekly. Media massa tersebut banyak memberitakan berita teknologi dan informasi dan figur-figur tokoh dan keberhasilannya dalam bisnis hi-tek ini. Hal ini memberikan pengaruh kepada masyarakat Silicon Valley. Sudah barang tentu "obyektvitas" media haruslah dijaga, jangan sampai menjadi terlalu berat sebelah kepada salah satu vendor atau jenis teknologi.
* "Pusat etalase produk (showcase)" dan pusat informasi
Hal ini perlu dibentuk sehingga pihak industri yang menginginkan suatu jenis produk dapat mudah mengetahuinya. Ini dapat dilakukan oleh universitas dengan menciptakan suatu bentuk "Science Park". Jadi titik berat "Science Park" ini adalah transfer informasi hasil karya alumni/mahasiswa/dosen ke kalangan industri atau masyarakat luas. Jadi sekali lagi bukan merupakan suatu "menara gading ilmu pengetahuan". Hal ini bisa dikombinasikan dengan Pusat informasi ketenaga kerjaan. Misal berisi informasi lapangan pekerjaan, iklan pemberian keahlian dab sebagainya. Pusat informasi ini dapat dibentuk bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan pihak industri. Ini akan memberikan keuntungan kedua belah pihak. Juga dengan memanfaatkan event seperti Pameran, sebagai contoh di pameran akbar CEBIT (Hannover) atau SYSTEM (Munich) selalu disediakan satu hall penuh untuk pusat etalase produk baik dari lembaga penelitian universitas atau perusahaan lokal.
* Persiapan infrastruktur
Infrastruktur dalam hal ini termasuk jaringan telekomunikasi, perbankan dan juga tidak lupa lembaga pelatihan di sekitar Depok. Sebagaimana kita ketahui bisnis di lingkungan TI melibatkan "ketrampilan praktis" dan "pengetahuan teoritis" Universitas tidak mungkin dapat memenuhi keduanya secara penuh. Ini disebabkan keterbatasan waktu dan sumber daya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan "ketrampilan" tersebut sudah sewajarnya dipenuhi oleh lembaga pelatihan (Training Center). Sebaiknya lembaga pelatihan ini memanfaatkan standard pelatihan atau ketrampilan yang dikenal luas, dan sedapat mungkin bersifat "vendor independence". Hal ini untuk menghindari situasi dimana tenaga TI nantinya hanyalah menjadi kepanjangan tangan jaringan marketing solusi import.
* Dukungan sumber dana yang memadai
Sumber dana dibutuhkan terutama sebagai modal awal. Untuk itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, misal dengan cara membentuk jalur perusahaan melalui saham. Bila selama ini kepemilikan dan para peneliti atau expert yang terlibat cenderung memiliki pola hubungan, pemilik usaha dan pekerja. Maka pola tersebut harus diubah, misal dengan memberikan option kepemilikan kepada para pekerja. Jadi mereka bukan diberi insentif gaji lebih besar tetapi mendapatkan saham kepemilikan dari perusahaan tersebut. Sistem permodalan dengan "venture capital" banyak membesarkan perusahaan baru di Silicon Valley seperti Apple di awal perkembangannya. Atau dapat juga dilakukan dengan dukungan pemberian dana dalam bentuk pinjaman yang dilakukan oleh Universitas kepada para alumni/mahasiswa, ataupun penyertaan modal dalam usaha yang baru dimulai oleh alumni/mahasiswa/dosen. Bantuan dana ini diberikan dalam penyertaan kepemilikan, bila diperkembangannya mahasiswa/alumni/dosen dapat membeli kepemilikan maka secara otomatis dana itu akan mengalir kembali ke universitas.
* Penentuan framework usaha yang membutuhkan investasi kecil
Investasi awal yang besar terutama untuk perangkat keras dan lunak bukanlah merupakan pilihan yang bijaksana. Karena hal tersebut jelas menjadi hal yang sulit dalam situasi perekenomian sekarang ini. Pemilihan framework dengan menggunakan pendekatan lain haruslah dicari, tetap tetap dengan memperhatikan azaz legalitas (misal tetap tidak menggunakan program bajakan sebagai alat bantu pengembang). Ini akan dibahas lebih lanjut dalam bahasan mendatang.

6 Open Source membuka peluang itu

Penanaman modal untuk mulai usaha di bidang jasa Teknologi Informasi (TI) akan membutuhkan modal yang tidak sedikit. Apalagi bila tidak dilakukan dengan pemilihan sarana sebagai perangkat produksi dengan tepat. Sebagai contoh apabila kita menginginkan menjadi Developer program berbasiskan perangkat lunak komersial, maka minimal dana yang harus dikeluarkan adalah :

* Pembelian sistem operasi asli (minimal sekitar 75 USD).
* Pembelian program untuk kompilasi (minimal sekitar 150 USD). Begitu juga dengan kelengkapan program development tools. (sekitar 100 USD)
* Pembelian dokumen dan buku (bisa dikatakan tidak ada informasi gratis dalam lingkungan program komersial. Informasi didapatkan dengan cara membeli buku atau bergabung dengan Developer Network yang membutuhkan biaya tidak sedikit
* Biaya menjadi penyedia solusi resmi Microsoft (harus membayar lisensi) dan juga mengikuti ujian sertifikasi Microsoft yang relatif berbiaya tinggi (karena semua dihitung dalam USD)

Dana investasi awal untuk perangkat lunak minimal sekitar 300 USD. Memang ini menjadi suatu pilihan yang sulit. Di satu pihak kita ingin memulai usaha jasa pengembangan perangkat lunak, tapi di lain pihak kita terhalang kebutuhan biaya untuk investasi perangkat lunak. Penggunaan program bajakan bukanlah merupakan pilihan yang tepat. Karena hal itu sudah seharusnya ditinggalkan. Terlebih lagi itu akan menghalangi kita untuk masuk ke pasaran internasional. Pada saat ini Indonesia masih dikenal sebagai surga bajakan yang mengakibatkan perusahaan perangkat lunak masih memandang sebelah mata dengan potensi Indonessia (Suara Pembaruan, 1998).

Untungnya ada pilihan lain yang bisa dilakukan untuk memulai dan memicu usaha pengembangan perangkat lunak yaitu dengan memanfaatkan program Open Source. Untuk melakukan pekerjaan sebagai pengembang perangkat lunak seperti di atas maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan program di bawah ini :

* Sebagai sistem operasi dapat digunakan GNU/Linux, ataupun FreeBSD.
* Sebagai program untuk keperluan kompilator dapat digunakan GNU C compiler atau yang lebih dikenal dengan nama gcc.
* Dokumentasi untuk Open Source Software tersedia secara bebas dan gratis, begitu pula informasi teknisnya (bahkan hingga source codenya). Ini akan memudahkan untuk mempelajarinya.
* Untuk "ditahbiskan" menjadi developer, tidak perlu mengambil sertifikasi dan pembayaran lisensi atau berlanggganan jaringan pengembang (developer net) yang membutuhkan biaya tambahan. Yang penting menunjukkan kemampuan di dunia Open Source, dan orang akan mengakuinya. Untuk bergabung dengan team developer dunia ini, cukup mengatakan "Ya.. saya yang akan melakukannya. dan buktikan.. itu sudah cukup ". Dengan demikian ini membuka kesempatan bagi pengembangan produk-produk lokal agar dapat bersaing di dunia internasional.

Jadi dengan memilih di daerah manakah kita memulai usaha menjadikan kota Depok sebagai markas penyedia jasa programmer. Maka tidak tertutup akan terbentuk usaha usaha inovasi perusahaan jasa baru seperti yang terjadi di Silicon Valley. VAR, RedHat, Yahoo, TheOnion, pun mulainya dari usaha kecil. Dengan modal yang tidak besar, sebagai contoh Dell memulai dengan modal sekitar 1000 US$.

Untuk memberi perbandingan lebih jelas, akan diberikan contoh lainnya sebagai developer Intranet atau Internet application. Database, Web developer. Bila kita ingin menggunakan commercial ware. Maka biaya yang dibutuhkan :

* Sistem Operasi komersial pada saat ini pilihan yang ada, Windows NT atau Windows 95. MacIntosh relatif jarang sekali digunakan di Indonesia.
* Database Server, misal SQL Server
* Front end dan report generator program, misal Visual Basic
* Web server dan mail server yang harus dibeli.
* Perangkat keras yang dibutuhkan misal Pentium, 64 MB.

Biaya tersebut menjadi cukup besar bandingkan bila kita menggunakan pendekatan Open Source :

* Sistem Operasi GNU/Linux ataupun FreeBSD. Bisa dikatakan gratis paling banyak hanyalah sekitar Rp 50.000,-
* Beragam database server telah tersedia misal Postgress, mySQL, mSQL dan lain-lain. Apabila aplikasi ingin dimanfaatkan oleh dunia komersial yang menginginakan jaminan database server komersial, telah tersedia pula Informix.
* Apache web server dan sendmail atau qmail telah tersedia secara bebas.
* Perangkat keras yang digunakan tidak terlalu menuntut perangkat keras yang mahal.

Jelas dengan memanfaatkan Open Source dapat dimulai usaha dengan investasi seminimal mungkin. Sehingga bisa dikatakan tidak terlalu bergantung pada nilai kurs pada saat ini. Bayangkan apabila harus menggunakan perangkat lunak komersial nilai investasi awal akan menjadi tinggi sekali. Bila kita tidak berhati-hati dalam memilih platform untuk bekerja, maka besar kemungkinan bukannya lapangan kerja TI menjadi penyumbang devisa, tapi bahkan menjadi penghambur devisa.

Produktifitas tertinggi dihasilkan apabila kita menghasilkan suatu produk dengan investasi awal yang rendah "producing something from nothing&quoot; Pemanfaatan Open Source memberikan keuntungan yaitu rendahnya investasi awal. Jelas berarti ini memperbesar produktifitas yang tinggi.

Memang dengan menentukan pilihan pada framework yang belum umum ini maka berarti kita menciptakan suatu "trend" baru dalam memberikan solusi. Pada saat ini trend yang ada adalah penggunaan solusi program komersial dari salah satu vendor terbesar. Tetapi perkembangan perusahaan-perusahaan di Silicon Valley sering diakibatkan oleh beraninya perusahaan tersebut menciptakan suatu trend. Dengan kata lain memilih hal yang lain dari trend yang sedang ada. Pemilihan trend baru ini sangat penting pada pengenalan suatu produk karena akan dapat memberikan "warna yang menyolok " yang dapat dimanfaatkan pada pemasaran produk.

Hal positif lainnya dari pemilihan solusi Open Source yang ditawarkan adalah terbentuknya suatu model bisnis yang lebih menekankan pada penyediaan jasa tenaga kerja lokal, serta mengurangi pembuangan devisa yang diakibatkan keluarnya dana untuk membayar lisensi perangkat lunak. Secara makro tentu ini sangat baik bagi kondisi perekonomian Indonesia. Secara tidak langsung dunia TI telah membantu menyelamatkan perekonomian. Bukannya memperberat perekonomian dengan beban pembayaran lisensi.

Bisa dikatakan Silicon Valley sendiri tumbuh dengan paradigma Open Source (walaupun ketika itu belum dinamakan Open Source). Sebagai contoh merupakan hal yang biasa di awal perkembangan komputer personal, para hobbiest tersebut saling bertukar program. UNIX sendiri makin berkembang dengan terbitnya sebuah buku yang merupakan source code UNIX yang diberi komentar (walau buku ini akhirnya ditarik dari peredaran). Walaupun usaha mencoba menjadikan UNIX Open Source kembali dilakukan pada sekitar tahun 1993 (Mcoy, 1993), tapi hal ini baru terjadi setelah meledaknya penggunaan Linux dan FreeBSD.

Pemanfaatan Open Source mendorong para pelaku dan penggunanya akan lebih keras mempelajari teknologi ini. Hal ini disebabkan adanya transparansi dalam hal teknologi (Wiryana, 1998). Pengembangan pemanfaatan teknologi dengan cara belajar dengan keras teknologi tersebut sangat bermanfaat dalam memberikan fondasi perkembangan teknologi. Hal ini telah ditunjukkan oleh India yang tumbuh menjadi gudang tenaga kerja TI yang berkualitas tinggi.

India sendiri mengembangkan bisnis perangkat lunaknya bukan dari aplikasi di lingkungan PC. Pada tahun 1985 diperkriakan jumlah komputer PC hanyalah sekitar 3000 itupun sekitar 2500 di dunia usaha. (Bhatnagar, S. C, 1986). Pelatihan tadinya dilakukan hanya oleh vendor, kemudian barulah Universitas. Perkembangan kualitas SDM India di bidang teknologi informasi dan kemampuan India sebagai "pengkesport" tenaga trampil TI tidak diragukan lagi pada saat ini. Di samping bermodalkan kemampuan berbahasa Inggris, juga kemampuan matematik yang diatas rata-rata. Kerja keras para mahasiswa India ini mengakibatkan mereka tidur rata-rata hanya 5 jam sehari, karena menggunakan waktunya untuk belajar. (BusinessWeek, 1998)

Fasilitas yang terbatas, misal kelangkaan buku, terkadang mengakibatkan 1 buku digunakan bersama oleh 25 mahasiswa. Tetapi ini tidak mengurangi semangat belajar mereka. Tetapi satu hal positif di lingkungan Universitas mereka adalah rasio tenaga pengajar yang tergolong tinggi yaitu antara 1:6 dan 1:8, bandingkan dengan MIT 1:11. Kompetisi antar mahasiswa untuk berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan sangat tinggi. Karena hal itu merupakan modal masa depan. 80% dari lulusan India bekerja atau bersekolah di USA (sebagian besar di Silicon Valley). Majunya pendidikan ini juga ditunjang dengan aliran masuk para alumni India dari Universitas di luar negeri (Amerika dan Inggris) serta kerja keras para mahasiswa.

7 Contoh produk perangkat keras yang dapat dibuat

Produk Open Source, seperti GNU/Linux, dan beragam perangkat lunak lainnya, membuka kemungkinan bagi para peserta bisnis TI di Indonesia untuk berperan aktif tidak hanya sebagai "pengimport" saja, tetapi dapat berkembang menjadi produsen jasa ataupun perangkat keras. Dengan ketersediaan perangkat lunak secara murah dan terbuka, maka terbuka kesempatan bagi tenaga lokal untuk belajar dan kemudian dapat menyediakan solusi murah, yang dapat bersaing dengan produk import. Di samping itu karena sifatnya yang terbuka, memungkinkan produk Open Source digunakan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dana setempat yang terbatas.

Pada bahasan di atas telah dibahas pemanfaatan Open Source sebagai platform pengembangan produk perangkat lunak. Tetapi kemungkinan pemanfaatan Open Source tidak berhenti di situ saja, dapat pula dikembangkan sehingga membuka kesempatan untuk membuat suatu produk perangkat keras. Agar memberikan gambaran lebih jelas, maka di dalam tulisan ini juga dipaparkan beberapa kemungkinan produk perangkat keras yang memanfaatkan program Open Source ini. Produk yang digunakan sebagai ilustrasi ini adalah produk perangkat keras yang bisa memanfaatkan perangkat keras yang telah ada. Sehingga tidak perlu mulai dari nol yang membutuhkan investasi besar.

Untuk lebih memberikan gambaran, penulis akan berikan contoh perusahaan yang telah memanfaatkannya dalam produk mereka. Perusahaan tersebut telah mulai memiliki segment pasar khusus dan berkembang dengan cukup sukses. Hal itu mudah-mudahan dapat memberikan gambaran apa yang dapat kita lakukan dengan memanfaatkan Open Source ini. Beberapa contoh ini diambil produk-produk yang ada dan mungkin untuk ditiru. Dengan Open Source peniruan bukanlah berarti penjiplakan, karena hal tersebut memang diperbolehkan dalam lisensinya. Walaupun begitu selalu terbuka kemungkinan bagi kita untuk mengkustomisasi sesuai kebutuhan lokal. Apalagi dengan memanfaatkan perangkat keras yang lebih rendah dan berharga murah untuk menjadikan suatu sistem yang memberikan fungsi yang sama.

Produk di atas dikeluarkan oleh Corel Computer dan juga oleh Igel GmbH Jerman. Menggunakan prosesor RISC dengan sistem operasi LINUX dan dimanfaatkan sebagai Network computer. Pada prinsipnya komputer ini merupakan suatu X-terminal. Dengan sistem yang dikelola dan dikonfigurasi dari server pusat, maka perawatan perangkat lunak menjadi mudah. Ini sangat sesuai untuk lingkungan kantor, dengan user yang banyak. Seperti kita ketahui aplikasi perangkat lunak terkadang membutuhkan maintenance dan konfigurasi yang cukup menghabiskan waktu dan sumber daya. Konsep Zero Maintenance pada model ini dapat diterapkan lebih mudah. Apabila suatu perangkat network komputer rusak, maka tinggal mengambil perangkat Network Computer lainnya. Tanpa perlu menginstall aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan atau melakukan konfigurasi yang rumit (karena semua telah berada di server). Sehingga cocok untuk lingkungan perkantoran.

Lingkungan kantor membutuhkan suatu perangkat server yang mudah diinstal dan cukup handal untuk menyediakan traffic menengah. Server seperti biasanya ini telah dilengkapi Web Server, perl, email server. Salah satu produk yang memiliki pendekatan seperti ini adalah Cobalt server. Dengan menggunakan GNU/Linux sebagai perangkat sistem operasi dan program tambahan menjadikan server ini sangat cocok untuk lingkungan kantor kecil yang membutuhkan file server, web server, mail server, dengan kata lain berfungsi sebagai Intranet server dan juga menyediakan koneksi Intranet ke Internet.

Server seperti ini dapat dikonfigurasikan dengan memanfaatkan perangkat PC yang ada. Tetapi dengan inovasi kemasan yang menarik, dokumentasi, serta dukungan teknis maka akan mampu masuk ke pasaran perusahaan menengah di Indonesia. Demand cukup tinggi untuk permintaan perangkat seperti ini. Sehingga dapat juga produk seperti ini pada dasarnya berupa suatu sistem komputer dengan Linux yang telah terinstal dan terkonfigurasi, sehingga pengguna dapat langsung menggunakannya, tanpa perlu menginstal Linux sendiri.

Server khusus seperti ini ditujukan Untuk kebutuhan yang lebih besar, misal untuk Internet Service Provider (ISP) maupun database server, ataupu sebagai server animasi. Linux dapat dikonfigurasikan untuk memenuhi kebutuhan "berat" tersebut dengan menggunakan perangkat keras yang lebih rendah. Misal dalam salah satu produk dari IGEL ini. Server sekelas ini biasanya telah dikonfigurasikan dengan RAID, dan multiprosesor. Linux server sendiri telah dibuktikan dapat beroperasi dengan memberikan kehandalan dan unjuk kerja yang tinggi. Konfigurasi ini sangat cocok untuk lingkungan yang membutuhkan database server yang tangguh tapi berbiaya rendah. Yang utama pada konfigurasi untuk sistem seperti ini adalah dukungan RAID, dan dukungan UPS (sehingga ketika listrik mati sistem bisa shutdown dengan mulus).

Dapat juga dikonfigurasikan khusus misal dengan ditambahkan multi-serial port, baik yang intelligent maupun yang non-intelligent sehingga berfungsi sebagai terminal server. Ini telah dijual oleh perusahaan Bee di Jerman. Solusi ini sangat cocok bagi perusahaan yang menyediakan fasilitas remote access pagi pegawainya.

7. Harapan

Sengaja tulisan ini tidak ditutup dengan suatu kesimpulan, karena tetap merupakan suatu diskusi terbuka yang tak berakhir. Sehingga lebih tepatnya bila ditutup dengan suatu harapan. Penulis sendiri secara pribadi, berharap Depok dapat berkembang menjadi Silicon Valleynya Indonesia, paling tidak seperti Banglore di India. Tidak tertutup perkembangan ke arah itu, hanya keinginan kita bersama untuk mewujudkan hal itu yang masih diuji. Depok dalam hal ini hanyalah suatu model, dapat pula diambil kota-kota lainnya, misal Yogyakarta, Surabaya, Bandung, yang telah memiliki kesamaan sumber daya manusia termasuk lingkungan kebebasan Universitasnya.

Masih banyak yang harus dilakukan, tapi tidak tertutup kemungkinan ke arah sana. Tembok-tembok arogansi lembaga harus dirobohkan, ikatan kerjasama harus dibangun, semangat kerja dan wirausaha harus ditumbuhkan.

Pendidikan, semangat kerja keras, semangat kewirausahaan, kerja sama dan dukungan universitas serta industri. (Untuk sementara peran pemerintah di minimalkan, Silicon Valley pun tidak tumbuh dari pihak pemerintah USA).

Tidak tertutup kemungkinan untuk menghasilkan produk-produk inovativ dengan menggunakan pendekatan Open Source sebagai kerangka kerja. Baik produk perangkat keras, lunak ataupun jasa. Penggunaan Open Source disamping memberikan jaminan legalitas juga mengurangi biaya investasi perangkat lunak. Investasi akan lebih banyak dilakukan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia daripada pembaruan perangkat keras atau perangkat lunak.

*)Penulis adalah staf Universitas Gunadarma yang sedang melanjutkan studi program doktoral di Universitas Bielefeld. Aktif di Special Regional Interest Group on Profesional Standardisation (SRIG-PS, SEARCC).

Referensi
* Bhatnagar, S.C. (1986). Impact of Computers on Indian Society. In Sackman (Ed.) Proceedings of the Third TC9 Conference, Stockholm, 2-5
* BusinessWeek (1998).Whiz Kid : Inside the Indian Institutes of Technology's star factory, BusinessWeek November 1998.
* Gotlieb, C. C. (1983) Conference Summary and Evaluation. In Momshowitz (Ed) Human Choice and Computers 2, Proceeding of the Second Conference, Baden, 4-8 June 1979, pp. 284-289.
* Infokomputer, (1998).Bidang Jasa: Ladang yang sangat menjanjikan.Infokomputer November 1998.
* Kompas, (1998). Sikap Arogan Hambat Kerja sama PTS-PTN.Kompas 9 November 1998.
* McVoy, Larry (1993). The Sourceware Operating System Proposal.
* Newsweek (1998). The Hottest Tech Cities. Newsweek 9 November 1998
* Popular Science (1998).Gene Readers, Popular Science . November 1998.
* Rogers, Everett M., Judith K. Larsen (1998). Silicon Valley Fever : Growth of High-Technology Culture. New York : Basic Books Inc. Publishers.
* Suara Pembaruan, 23 November 1998. Mengapa Software bajakan tetap dibeli?
* TIME (1998). The Cyber Elite. TIME. 9 November 1998.
* Wiryana, I Made (1998). Platform apakah yang tepat untuk sarana belajar kita di Abad 21 ?
* Wiryana, I Made (1998). Information System Development : An interdisciplinary approach. ISMM 1998, Paderborn.

Sumber : http://nakula.rvs.uni-bielefeld.de/~made/proposal/Depok/depokpap.html